Latihan seni peran mencakup konsentrasi, latihan membaca, penguasaan sarana ekspresi, perwatakan, dan teknik bermain.
- a. Konsentrasi
Konsentrasi adalah suatu kesanggupan memusatkan semua kekuatan rohani dan pikiran ke sebuah fokus sasran yang jelas. Pengertian konsentrasi bukanlah mengosongkan pikiran, tetapi memusatkan pikiran (Rendra, 1985). Kemampuan berkonsentrasi pada anak-anak tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus diasah terus-menerus. Dasar dari latihan konsentrasi adalah penguasaan diri. Pelatihan konsentrasi yang mencakup konsentrasi pendengaran, penglihatan dan penciuman harus dilakukan secara rileks agar anak-anak tidak mengalami ketegangan.
- b. Latihan Membaca
Latihan membaca bertujuan agar anak-anak terampil membaca, menangkap makna bacaan dan mampu mengkomunikasikan makna tersebut kepada orang lain. Dalam hal ini, kefasihan membaca menjadi syarat utama yang harus diakuasai anak-anak. Anak-anak diminta untuk memahami isi bacaan cerita anak-anak, naskah drama anak, dongeng yang menarik dsb. Setelah membaca anak-anak diminta untuk menceritakan kembali alur cerita dan karakter-karakter tokoh. Latihan membaca pada hakekatnya sebagai latihan dasar bagi anak-anak untuk menyampaikan pikirannya secara jelas. Kepentingan praktis lainnya adalah untuk belajar mengucapkan dialog dalam permainan drama kelak.
- c. Penguasaan Sarana Ekspresi
Media sarana ekspresi seorang pemain drama adalah tubuh, suara (vokal) dan sukma (Rendra, 1985). Pengolahan tubuh anak-anak ditekankan pada aspek koordinasi dalam melakukan akting. Koordinasi itu terkait dengan menciptakan gerak sesuai dengan kebutuhan pemanggungan. Anak-anak ditunjukkan tentang sikap tubuh yang baik di atas pentas.
Penguasaan sarana ekspresi merupakan ketrampilan bermain dalam menggunakan peralatan-peralatan ekspresinya (tubuh, vokal dan sukma) (Rendra, 1985). Salah satu teknik bermain yang bisa ditempuh adalah dengan memberi isi pada pengucapan-pengucapan dialog dengan penekanan makna yang terkandung di dalamnya. Seindah apa pun dialog dalam drama tidak akan hidup apabila diucapkan dengan datar. Pada latihan anak-anak ditunjukkan bahwa cara pengucapan berbeda akan melahirkan makna berbeda.
Dalam bermain diperlukan pula teknik pengembangan agar pertunjukan tidak monoton. Anak-anak dilatih mengenali suasana yang ada pada setiap adegan seperti suasana penih, gembira kekacauan dsb. Ketika anak-anak telah mengenali suasana dari setiap adegan maka mereka dilatih menciptakan suasana dengan berbagai cara seperti dialog, gerakan, pemanfaatan ilustrasi musik, efek suara, pencahayaan dsb.
Sarana ekspresi mencakup olah tubuh, olah suara, dan olah rasa.
1). Olah Tubuh
Latihan olah tubuh adalah kegiatan melatih kesadaran tubuh dan cara mendayagunakan tubuh. Olah tubuh dilakukan dalam tiga tahap, yaitu latihan pemanasan, latihan inti, dan latihan pendinginan.
a). Latihan pemanasan (warm-up), yaitu serial latihan gerakan tubuh untuk meningkatkan sirkulasi dengan cara meregangkan otot atau melemaskan otot-otot. Teknis yang dipakai bisa dengan melakukan gerakan yang ada dalam gerakan senam kelenturan.
b). Latihan inti, yaitu latihan gerakan yang akan dilatihkan atau latihan gerakan sesuai kebutuhan naskah yang akan dipentaskan.
c). Latihan pendinginan adalah latihan dengan gerakan yang dapat menimbulkan efek relaksasi, sehingga membantu menghantarkan pemain kedalam proses konsentrasi
Fungsi utama dari latihan olah tubuh ini adalah menjadikan organ tubuh lentur sehingga leluasa dan luwes jika digerakkan ketika sedang bermain peran.
2). Olah Suara
Pengolahan suara atau vokal pada anak-anak ditekankan pada penciptaan nada dalam dialog. Penciptaan nada dapat memberi efek tertentu pada dialog sesuai dengan kandungan makna di dalamnya (Harymawan, 1988). Anak-anak diajak memainkan berbagai macam warna suara. Latihan ini akan memberikan ketrampilan berdialog pada anak-anak.
Untuk menjadi pemain teater yang baik, maka dia harus mempunyai dasar suara atau vokal yang baik pula. “Baik” disini dapat diartikan sebagai berikut.
a). Dapat terdengar seluruh penonton sampai posisi paling belakang
b). Jelas secara artikulasi yaitu pengucapan yang tepat
c). Baik secara intonasi yaitu baik dalam lagu dialog
d). Tersampaikan misi atau pesan yang disampaikan melalui dialog
e). Tidak monoton
Dalam latihan olah suara perlu diperhatikan dan dipertimbangkan olah pernafasan sebagai dasar pelatihan. Teknik pernafasan yang digunakan dalam teater adalah pernafasan diafragma. Selanjutnya, setelah mampu melakukan pernafasan diafragma latihan olah suara ditekankan untuk melatih artikulasi, intonasi, dan diksi sehingga kalimat yang diucapkan jelas dan enak didengar.
3). Olah Rasa
Dalam latihan olah rasa atau sukma penekannya pada faktor emosi. Anak-anak dibimbing untuk mampu menumbuhkan emosi sesuai dengan tuntutan peran. Apabila anak-anak telah mampu menumbuhkan emosi, maka anak-anak dirangsang untuk mengembangkan emosi sesuai dengan takaran peran. Pada pihak lain, anak-anak juga dilatih untuk mengendalikan emosi, agar kelak bisa mengontrol perkembangan emosi yang berlebih. Ketika anak-anak terlatih mengelola emosi maka kehidupannya akan terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, pengelolaan emosi anak mendapat latihan yang besar.
Pemeran atau pemain teater membutuhkan kepekaan rasa, agar dapat menghayati karakter tokoh. Semua emosi tokoh yang dimainkan harus mampu diwujudkan. Oleh karena itu, latihan-latihan yang mendukung kepekaan rasa perlu dilakukan. Terlebih dalam konteks aksi, reaksi, dan responsi. Seorang pemeran tidak hanya mengekspresikan karakter tokoh yang perankan saja, tetapi juga harus memberikan respon terhadap ekspresi tokoh lainnya. Latihan atau kegiatan olah rasa ini dapat dilakukan dengan cara latihan konsentrasi dan imajinasi.
Nilai karakter yang dapat diintegrasikan dalam tahap pelatihan dasar pemeranan adalah;
a). Disiplin dalam hal ketepatan waktu latihan
b). Kerjasama dengan peserta yang lain sewaktu melaksanakan nomor-nomor
latihan (olah tubuh, suara, dan rasa)
c). Percaya diri dalam berekspresi atau melakukan kegiatan dalam latihan
d). Kerja keras dalam melakukan latihan untuk mencapai tujuan yang diharapkan
e). Komunikatif dalam arti mampu menjalin komunikasi baik dengan rekan ataupun pelatih
Dalam kehidupan sehari-hari setiap anak pasti memiliki watak yang berbeda, sehingga pemahaman terhadap perwatakan akan mengantarkan mereka pada bentuk pergaulan yang lebih baik. John Harrop dan Sabih R. Epstein (1990) mengatakan bahwa latihan perwatakan mencakup aspek fisiologis, psikologis dan sosiologis Dalam latihan fisiologis anak-anak diminta mengidentifikasi aspek fisiologis teman-temannya seperti jenis kelamin, usia, postur, warna kulit, dan semua aspek fisik lainnya. Selanjutnya, anak-anak diminta mengidentifikasi aspek fisiologis pada cerita anak-anak atau dongeng yang pernah dibaca selama pelatihan.
Aspek psikologis terkait dengan sikap, motivasi, emosi, keinginan, dorongan dan intelektual (John Harrop dan Sabih R. Epstein, 1990). Latihan aspek ini dimulai dengan sebuah permainan yang disebut “perangakap raksasa”. Melalui permainan ini dihadapkan pada berbagai jebakan. Pada setiap jebakan anak-anak harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sang raksasa seputar kondisi psikologis anak-anak. Dengan latihan ini anak-anak lebih mengenal dirinya. Selanjutnya anak-anak dikenalkan pada perwatakan-perwatakan tokoh cerita, dongeng maupun drama.
Aspek sosilogis terkait dengan ciri-ciri status ekonomi, profesi, agama, kekerabatan dsb (John Harrop dan Sabih R. Epstein, 1990). Pada latihan ini anak-anak diminta mencatat profesi orang tuanya, jenis pakaian yang biasa dipakai seseorang sesuai dengan profesinya. Dari identifikasi pakaian dikembangkan pada peralatan yang dipakai dalam sebuah profesi, sehingga anak-anak berlatih memahami perwatakan secara lebih utuh.
Latihan perwatakan adalah latihan untuk menjadi karakter tokoh yang akan diperankan. Latihan ini dimulai dari tafsir terhadap tokoh yang akan diperankan, observasi karakter, eksplorasi karakter, kolaborasi antarkarakter, dan latihan dengan tata artistik.
- Tafsir
Sebelum memainkan sebuah tokoh dalam cerita, seorang pemain harus mengenali tokoh tersebut melalui informasi yang didapatkan dari dalam cerita. Tokoh tersebut harus diketahui wataknya atau sifatnya apakah sombong, jahat, atau baik budi. Tokoh tersebut harus pula diketahui perannya dalam cerita apakah ia antagonis, protagonis, tritagonis atau hanya sekedar tokoh figuran. Tokoh tersebut harus pula diketahui ciri-ciri fisiknya dan status sosialnya. Semua informasi ini sangat diperlukan sehingga calon pemeran dan menafsirkan dan mempraktikkannya.
b). Observasi Karakter
Setelah mendapatkan informasi mengenai peran yang akan dimainkan seorang pemeran memerlukan observasi atau pengamatan secara nyata dalam kehidupan untuk menemukan model acuan dari orang-orang yang diamati tersebut. Model acuan yang sesuai dengan karakter tokoh yang akan dimainkan berikutnya diamati secara detil sehingga gaya dan tingkah lakunya dapat diadaptasikan ke dalam praktik pemeranan. Alangkah lebih baik jika ciri-ciri karakter orang yang diamati ini dicatat sehingga nantinya akan mudah untuk diaplikasikan.
c). Eksplorasi Karakter
Eksplorasi karakter adalah kegiatan mengembangkan gaya atau perilaku karakter yang akan dimainkan berdasar catatan hasil pengamatan (observasi). Gaya dan perilaku ini disesuaikan dengan tuntutan cerita. Oleh karena itu dalam mengembangkan gaya dan perilaku karakter ini harus tidak boleh lepas dari tuntutan cerita.
d). Kolaborasi Antarkarakter
Kerjasama antarkarakter atau kolaborasi ini sangat diperlukan ketika latihan sudah mengarah pada adegan-adegan dalam cerita di mana karakter yang satu akan bertemu dengan karakter yang lain. Kerjasama antarkarakter ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekakuan atau ekspresi karakter yang berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak terjadi komuikasi yang alami dan mengakibatkan makna atau maksud adegan menjadi kabur. Tidak jarang, pemain teater itu hanya bermain menurut tafsirnya sendiri tanpa menghiraukan yang lainnya. Oleh karena itu sangat diperlukan latihan aksi-reaki dan response antarkarakter dalam setiap adegan sehingga kerjasama terbentuk dengan baik dan komunikasi peran menjadi alami.
e). Latihan dengan Tata Artistik
Latihan dengan artistik dilakukan ketika semua pemain sudah memahami cerita yang akan dimainkan dan karakter yang akan diperankan. Bentuk latihan ini berupa adegan-adegan yang mana pemain menyesuaikan dirinya dengan aspek tata artistik seperti tata rias dan busana, dekorasi panggung, tata cahaya, dan ilustrasi musik atau salah satu di antaranya.
Nilai karakter yang dapat diintegrasikan dalam tahap pemeranan karakter ini adalah:
- (1). Disiplin dalam hal ketepatan waktu latihan
- (2). Kerjasama dengan peserta yang lain sewaktu melaksanakan latihan observasi, eksplorasi, dan kolaborasi antarkarakter serta ketika latihan dengan tata artistik
- (3). Percaya diri dalam memainkan karakter yang akan diperankan
- (4). Kreatif dalam mengembangkan laku karakter
- (5). Komunikatif dalam arti mampu menampilkan karakter peran sesuai amanat Cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar